Oleh : Giorgio Babo Moggi
Pada saat membawakan materi Pelatihan Penyusunan Bahan Ajar Berbasis Multimedia di Wangapu (15/11/2016), saya memulai dengan sebuah brainstorming – sesaat sebelum masuk ke pokok materi teknologi informasi.
Pada saat membawakan materi Pelatihan Penyusunan Bahan Ajar Berbasis Multimedia di Wangapu (15/11/2016), saya memulai dengan sebuah brainstorming – sesaat sebelum masuk ke pokok materi teknologi informasi.
Pada tempat yang pertama adalah
saya mengapresiasi para guru yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk
mendidik dan mengajar anak bangsa. Di hadapan mereka, saya menegaskan bahwa
menjadi guru tidak mudah. Guru adalah profesi yang mulia. Mereka tidak hanya
mengajarkan tetapi juga mendidik.
Saya membagikan pengalaman pribadi
di Australia. Suatu waktu, pada perayaan 17 Agustus 2013, di Rossiter Park,
Townsville, saya menghampiri seorang anak yang duduk sendirian karena
ditinggalkan orang tuanya yang sedang bercengkerama dengan warga Indonesia
lainnya.
Saya menyapanya. Dijawabnya
dingin. Cool. Ya, saya berpikir
mungkin ini karakternya. Saya tetap duduk di sebelahnya. Ia langsung mengajukan
pertanyaan.
“Mengapa dengan kaki anda?”
Saya belum sempat menjawab, ia
menyela,”Jika pertanyaanku menyinggung privasi anda, anda tidak harus menjawab.”
Saya kagum dengan cara berpikir
anak ini. Saya tetap tenang dan bersedia menjawab pertanyaanya.
Pengalaman lain, suatu malam, di bus stop (halte bus) kampus, selain
saya, ada beberapa mahasiswi Eropa hendak turun ke pusat kota (city center). Di lengan remaja putri
ini, bergelantungan semacam selendang yang bertuliskan “Happy Birthday”. Rupanya, mereka hendak merayakan seventeen party di kota.
Remaja ini menghampiri saya dan
meraih tongkat (kruk) yang ada dalam genggaman saya. Tentu didahului dengan
sapaan.
“Mengapa anda memakai tongkat?”
tanya gadis cantik ini.
Posisi saya waktu itu duduk,
sehingga ia tidak melihat dengan jelas kondisi saya. Tambah lagi suasana di
halte bus agak remang-remang.
Jawaban saya sudah di ujung
bibir, gadis ini langsung menyergap, “ Kamu tidak usah menjawab, kalau
jawabannya sangat pribadi.”
Seperti pengalaman sebelumnya.
Saya tertegun. Kemudian saya menjawabnya karena pertanyaannya tidak menyinggung
hal privasi saya.
Dari dua pengalaman kecil ini,
saya menyimpulkan pembentukan karakter anak merupakan hal yang sulit. Tidak
gampang! Mentransferkan pengetahuan kepada anak merupakan hal mudah. Lagi pula,
dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi, internet khususnya, semua orang
tanpa batas usia (bagi yang bisa mengakses internet) dapat memperoleh informasi
(pengetahuan) tanpa batas ruang dan waktu. Tidak demikian halnya dengan pendidikan dan pembentukan karakter
anak.
Saya miliki pengalaman berulang
kali di atas angkutan kota di seputaran Kota Kupang. Saya hampir tidak
mendengar kata “permisi” dari mulut siswa atau siswi yang turun naik angkutan
kota. Padahal anda tahu sendiri bagaimana sempitnya ruang angkutan kota. Tentu
saja, kemungkinan senggol sini, senggol sana dapat saja terjadi. Berbeda,
dengan penumpang dewasa, sesekali mengucapkan kata “permisi” atau “maaf” saat
turun naik angkutan kota – meskipun satu dua orang saja. Kata permisi saja
sulit diucapkan, apalagi “terimakasih”. Anehnya, siswa-siswi yang saya jumpai
ini, katanya, dari sekolah pemerintah dan masuk kelompok sekolah unggulan di Kota
Kupang.
Menutup brainstroming, saya
menegaskan entah para guru di Australia dapat membentuk anak sehingga memiliki karakter yang
kuat tidak terlepas kehidupan anak-anak dalam keluarga. Mereka tahu membedakan
hal yang privasi dan bukan. Mereka mudah mengucapkan “thank you” dan “sorry”.
Mereka setia dan sabar dalam antrian yang panjang. Hal-hal yang kita sulit
jumpai di kalangan anak-anak kita.
Beratnya pendidikan dan
pembentukan karakter anak, maka kita tidak dapat gantungkan peran itu kepada
para pendidik (guru) di sekolah. Keluarga harus memiliki peran utama. Bukankah
sekolah merupakan sel pendidikan? Bahkan, boleh dibilang rahim ibu merupakan
ruang kelas yang pertama dan utama. Pembentukan
karakter anak dimulai dari sana.
Hari ini, bertetapan dengan Hari
Guru Nasional, pertama, saya pantas memberikan apresiasi dan ucapkan
selamat kepada para guru (baik yang masih hidup maupun yang telah wafat) atas
jasa mereka membesarkan bangsa ini melalui dunia pendidikan ini.
Kedua, marilah kita mengambil
peran guru dalam status dan kedudukan kita masing-masing. Guru memang adalah
profesi, tetapi peran guru dapat dalam kehidupan harian dapat dilakoni oleh
siapapun pun – terutama dalam lingkungan keluarga kita masing-masing.
Terakhir, tantangan dunia
pendidikan dewasa ini adalah pendidikan dan pembentukan karakter. Pengetahuan
dapat ditransfer dan dicari karena sumber informasinya sangat tidak terbatas.
Sedangkan pendidikan dan pembentukan karakter membutuhkan keteladanan kita
semua. Tidak saja para guru, juga orang tua. Masyarakat pada umumnya. Contoh
sederhananya, bagaimana kita mengajarkan anak membuang sampah pada tempatnya,
sementara kita membuang abu rokok bukan pada asbak?
MAKA DARI ITU, REVOLUSI MENTAL
ALA JOKOWI SANGAT ERAT KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN KARAKTER ATAU KEPRIBADIAN.
DI INDONESIA, ORANG PINTAR BANYAK, TETAPI ORANG BAIK MASIH SEDIKIT. DAN
HEBATNYA, JOKOWI MENGAWALI GERAKAN REVOLUSI MENTAL INI DENGAN MENJADI SUMBER
KETELADANAN. TIDAK KORUPSI!***(gbm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar