Kamis, 24 November 2016

Hari Guru dan Revolusi Mental "Jokowi"



Oleh : Giorgio Babo Moggi
 
Pada saat membawakan materi Pelatihan Penyusunan Bahan Ajar Berbasis Multimedia di Wangapu (15/11/2016), saya memulai dengan sebuah brainstorming – sesaat sebelum masuk ke pokok materi teknologi informasi.

Pada tempat yang pertama adalah saya mengapresiasi para guru yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mendidik dan mengajar anak bangsa. Di hadapan mereka, saya menegaskan bahwa menjadi guru tidak mudah. Guru adalah profesi yang mulia. Mereka tidak hanya mengajarkan tetapi juga mendidik.

Saya membagikan pengalaman pribadi di Australia. Suatu waktu, pada perayaan 17 Agustus 2013, di Rossiter Park, Townsville, saya menghampiri seorang anak yang duduk sendirian karena ditinggalkan orang tuanya yang sedang bercengkerama dengan warga Indonesia lainnya.

Saya menyapanya. Dijawabnya dingin. Cool. Ya, saya berpikir mungkin ini karakternya. Saya tetap duduk di sebelahnya. Ia langsung mengajukan pertanyaan.

“Mengapa dengan kaki anda?” 

Saya belum sempat menjawab, ia menyela,”Jika pertanyaanku menyinggung privasi anda, anda tidak harus menjawab.”

Saya kagum dengan cara berpikir anak ini. Saya tetap tenang dan bersedia menjawab pertanyaanya.

Pengalaman lain, suatu malam, di bus stop (halte bus) kampus, selain saya, ada beberapa mahasiswi Eropa hendak turun ke pusat kota (city center). Di lengan remaja putri ini, bergelantungan semacam selendang yang bertuliskan “Happy Birthday”. Rupanya, mereka hendak merayakan seventeen party di kota.

Remaja ini menghampiri saya dan meraih tongkat (kruk) yang ada dalam genggaman saya. Tentu didahului dengan sapaan.

“Mengapa anda memakai tongkat?” tanya gadis cantik ini.

Posisi saya waktu itu duduk, sehingga ia tidak melihat dengan jelas kondisi saya. Tambah lagi suasana di halte bus agak remang-remang. 

Jawaban saya sudah di ujung bibir, gadis ini langsung menyergap, “ Kamu tidak usah menjawab, kalau jawabannya sangat pribadi.”

Seperti pengalaman sebelumnya. Saya tertegun. Kemudian saya menjawabnya karena pertanyaannya tidak menyinggung hal privasi saya.

Dari dua pengalaman kecil ini, saya menyimpulkan pembentukan karakter anak merupakan hal yang sulit. Tidak gampang! Mentransferkan pengetahuan kepada anak merupakan hal mudah. Lagi pula, dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi, internet khususnya, semua orang tanpa batas usia (bagi yang bisa mengakses internet) dapat memperoleh informasi (pengetahuan) tanpa batas ruang dan waktu. Tidak demikian halnya  dengan pendidikan dan pembentukan karakter anak.

Saya miliki pengalaman berulang kali di atas angkutan kota di seputaran Kota Kupang. Saya hampir tidak mendengar kata “permisi” dari mulut siswa atau siswi yang turun naik angkutan kota. Padahal anda tahu sendiri bagaimana sempitnya ruang angkutan kota. Tentu saja, kemungkinan senggol sini, senggol sana dapat saja terjadi. Berbeda, dengan penumpang dewasa, sesekali mengucapkan kata “permisi” atau “maaf” saat turun naik angkutan kota – meskipun satu dua orang saja. Kata permisi saja sulit diucapkan, apalagi “terimakasih”. Anehnya, siswa-siswi yang saya jumpai ini, katanya, dari sekolah pemerintah dan masuk kelompok sekolah unggulan di Kota Kupang. 

Menutup brainstroming, saya menegaskan entah para guru di Australia dapat  membentuk anak sehingga memiliki karakter yang kuat tidak terlepas kehidupan anak-anak dalam keluarga. Mereka tahu membedakan hal yang privasi dan bukan. Mereka mudah mengucapkan “thank you” dan “sorry”. Mereka setia dan sabar dalam antrian yang panjang. Hal-hal yang kita sulit jumpai di kalangan anak-anak kita.

Beratnya pendidikan dan pembentukan karakter anak, maka kita tidak dapat gantungkan peran itu kepada para pendidik (guru) di sekolah. Keluarga harus memiliki peran utama. Bukankah sekolah merupakan sel pendidikan? Bahkan, boleh dibilang rahim ibu merupakan ruang kelas yang pertama dan utama.  Pembentukan karakter anak dimulai dari sana.

Hari ini, bertetapan dengan Hari Guru Nasional, pertama, saya pantas memberikan apresiasi dan ucapkan selamat kepada para guru (baik yang masih hidup maupun yang telah wafat) atas jasa mereka membesarkan bangsa ini melalui dunia pendidikan ini. 


Kedua, marilah kita mengambil peran guru dalam status dan kedudukan kita masing-masing. Guru memang adalah profesi, tetapi peran guru dapat dalam kehidupan harian dapat dilakoni oleh siapapun pun – terutama dalam lingkungan keluarga kita masing-masing.

Terakhir, tantangan dunia pendidikan dewasa ini adalah pendidikan dan pembentukan karakter. Pengetahuan dapat ditransfer dan dicari karena sumber informasinya sangat tidak terbatas. Sedangkan pendidikan dan pembentukan karakter membutuhkan keteladanan kita semua. Tidak saja para guru, juga orang tua. Masyarakat pada umumnya. Contoh sederhananya, bagaimana kita mengajarkan anak membuang sampah pada tempatnya, sementara kita membuang abu rokok bukan pada asbak?

MAKA DARI ITU, REVOLUSI MENTAL ALA JOKOWI SANGAT ERAT KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN KARAKTER ATAU KEPRIBADIAN. DI INDONESIA, ORANG PINTAR BANYAK, TETAPI ORANG BAIK MASIH SEDIKIT. DAN HEBATNYA, JOKOWI MENGAWALI GERAKAN REVOLUSI MENTAL INI DENGAN MENJADI SUMBER KETELADANAN. TIDAK KORUPSI!***(gbm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar